Minggu, 29 Oktober 2017

The Reason, Palembang So Amazing..

DAY TWO, 22 OCTOBER 2017

TRIP PERDANA PALEMBANG #1 BACKPACKER JAKARTA

Prolog ; Saya terbangun dengan bahagia, ada bunda Fadlun ada ka Ikha dan orang - orang yang memenuhi Subuh juga mereka yang masih menikmati alam mimpi, suara air menandai sebagian lain tengah mandi.. bahagia sesederhana itu.. mendapati bangun tidak sendirian.. ^^

MET PAGIII.. YUKS SARAPAN BERSAMA GAGAHNYA GOR SRIWIJAYA

Masih edisi kulineran pagi ini pun tidak melewati sarapan yang khasnya masakan Sumatera Selatan, kali ini saya akhirnya bertemu nasi.. nasi uduk dan nasi kuning saya bisa mendapatinya di Jakarta kapanpun jadi saya memilih nasi Minyak .. ya mungkin di Jakarta terdengar nasi Goreng tapi nasi minyak disini menggunakan olahan dengan kismis dan minyak zaitun.. sehat banget yaa heee ditemani telur rebus, bihun bening, dan orek tempe saya menikmati sampai habis.. 

Ohya ada satu Pempek lagi yang dimasak dengan di panggang tapi sayang perutnya gak cukup jadi gak nyobain deh hee
Nah, meski gerimis mengundang tak mengurangi semangat kami tuk menjejakkan kaki di tempat fenomenal (versi saya) ini, Bangunan ini adalah Gelora Sriwijaya alias GOR nya Palembang, atau Stadion Jakabaring yang menunjukkan domisili stadion. perhatikan bentuk atapnya, lengkungan tersebut memiliki arti kejayaan Kerajaan Sriwijaya sebagai wilayah Maritim oleh sebab itu disimbolkan dengan perahu yang melengkung.

Untuk yang gemar bermain bola tentu gak asing dengan Sriwijaya FC, markas besarnya ini bukan saja menjadi Stadion Olahraga dengan multifungsi terbesar ketiga di Indonesia tapi juga diakui bertaraf International lho..uwoww..

Dinamakan Sriwijaya karena sesuai dengan kejayaan dari daerahnya di Abad ke 7 dimana kemasyurannya sebagai kerajaan besar di pulau Sumatera sebelum berganti era menjadi negeri kesultanan.

Awalnya kenapa dibangun Stadion besar ini adalah karena Palembang terpilih sebagai pengadaaan PON XVI untuk 02 September 2004 nah mau bertanding dimana jika tak ada GOR? maka ketika itu 01 Januari 2001 dibangunlah GOR ini..

Karena pembangunannya yang gak tanggung-tanggung itulah GOR ini dipercaya untuk diselenggarakan Piala Asian 2007, kemudian menjadi Stadion pembukaan dan penutupan acara SEA Games 2011, kelak 18 Agustus 2018 mendampingi DKI Jakarta akan diselenggarakan Asian Games.

Wuuiihh prestasinya keren kann ..

Setelah ini kami melanjutkan perjalanan kami, CP kami bilang dibelakang GOR ini kami akan disuguhi danau yang airnya bening sekali.. bener ajaa ketika melewatinya dari jauh terpancar bersihnya gak tampak satu sampah pun seperti air putih dalam gelas aja.. he jangan disamakan dengan danau Jakarta yaa saya malah teringat tempat penangkaran tambak udang ketika menuju Pantai Lumbung, Jawa Timur.. sayang transportasi kami terlampau mengejar waktu sehingga gambar pun selalu tertangkap blurr..
Tampak depan
Siapakah Laksamana asal Negeri Tirai Bambu Cheng Ho hingga namanya menjadi teladan dan dijadikan nama masjid ini? sebelumnya yuks kepoin dasar pendirian Masjid ini.. 
Alhamdulillah terpenuhi satu hajat mengunjungi Masjid Al-Islam Muhammad Cheng Ho, dimana dibangun 27 November 2004, yang diselenggarkan oleh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Koordinator Wilayah (Korwil) Sumatera Selatan, yang terinspirasi Masjid Muhammad Cheng Ho di Surabaya (semoga bisa kesana), atas hibah tanah Gubernur Sumatera Selatan Ir. Syahrial Oesman, MM. seluas 4990 m2 dengan bangunan berukuran 20 x 20 m, memiliki dua menara yang bermakna Hablum Minallah (Hubungan dengan Allah) dan Hablum Minannas (Hubungan dengan manusia), tiap menara setinggi 5 lantai yang bermakna 5 waktu shalat wajib dengan ketinggian 17 m yaitu dari 5 waktu shalat wajib tersebut bila dijumlah ada 17 rakaat. 
Tampak belakang
Mengunjungi Masjid ini, kentara sekali bahwa dahulu hidup rukun antara masyarakat Tionghoa dengan kebudayaan Palembang, karena di Masjid ini bukan hanya warna dan ornamen etnik Tionghoa yang mendominasi juga terdapat ornamen tanduk kambing yang menjadi ciri khas Kota Palembang lainnya. Toilet dan tempat wudhu (seperti di Darut Tauhid hehee) berdampingan seluas 4x4 meter.
Bagian Dalam
Diberi nama Muhammad Cheng Ho adalah sebagai teladan dari perwakilan sosok etnis Tionghoa yang dalam pelayarannya ketika singgah di Indonesia dan salah satunya kerajaan Sriwijaya, pada Abad ke 15, beliau bukan hanya berdagang sebagai utusan kerajaan tapi juga penyambung Sillaturahmi antar kedua Negara pun pula dalam rangka berdakwah..So, bukan hanya pedagang dari negeri Arab yang membuat Islam mempesona Negeri Palembang tapi juga dari pengaruh akhlaq Laksamana Cheng Ho.



Samping Masjid





Tionghoa memiliki banyak bangsa salah satunya adalah bangsa Hui yang merupakan asal Laksamana Cheng Ho, bangsa Hui adalah bangsa muslimnya Tionghoa dengan perawakan yang sama dengan bangsa Han. berkat pelayarannya yang tersohor di Era nya dia adalah salah satu Laksamana yang navigator peta kelautannya menjadi acuan sampai abad ke 15 bukan saja rute tapi juga lengkap dengan pelabuhan apa saja yang disinggahi. 
Gazebo untuk Bedug
Nah, begitulah Biografi singkat beliau kalo kepo bisa kalian Google tapi jika sangat tertarik bisa mengunjungi (setengah lengkap) di Museum Bahari lantai 2, Yang berada di Kota juga di lantai 2 Museum Hakka, Taman Mini Indonesia Indah dan jika mau yang lengkap banget ada di Museum Cheng Ho yang letaknya disamping Museum Hakka.

Kembali ke Masjid, beralamat di Jl Letjen Bambang Utoyo, Sriwijaya, Masjid ini juga memiliki rumah Tahfidz lhoo yaitu rumah yang diperuntukan pengkhususan dalam penghafalan kitab suci Al-Quran.. 


Tidak menyia-nyiakan waktu, sebagian dari kami juga tidak mau melewatkan kesempatan untuk beribadah di tempat ini, Dhuha.. Insya Allah jadi perjalanan yang berkah karena tidak melewatkan Shalat baik wajib maupun berkesempatan Sunnah.. Yukz kita lanjutkan ke Destinasi berikutnya yang tak kalah menarik.
MENJELANG SIANG.. SISA KAMPUNG KAPITAN, PEMUKIMAN TIONGHOA

Salah satu Rumah Tua  di Kampung Kapitan
Seperti yang kita ketahui Palembang memiliki tiga kebudayaan yang berdampingan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya, yang di paparkan di Museum Balaputera Dewa, Melayu, Tionghoa dan Arab.. Nah setelah kemarin kita melewati kedua Destinasi itu, Siang ini  kami berkunjung ke Kampung Kapitan, Kampungnya masyarakat Tionghoa pada Abad 18, Menurut guide kami, yang menjaga Rumah Abu, Kampung Kapitan adalah area seluas 20 Ha yang diberikan kolonial Belanda atas kerjasama perdagangan dengan warga Tionghoa di Palembang saat Palembang dijajah Belanda.

Kampung kapitan terletak di 7 Ulu bertepian dengan Sungai Musi yang ketika memasuki Gerbangnya kita cukup melangkah sejauh 50 meter, kami memasuki dua rumah dari sisa peninggalan kampung Kapitan di Abad ke -18, Rumah itu kini hampir tak terawat dan barang peninggalan yang masih ada adalah Altar Sembahyang diruang tengah, Foto-foto keluarga di ruang utama dan Guci besar berisi Dupa setinggi badan saya heehe .. Rumah yang berusia +- 400 tahun itu, dengan ukuran asli 22 x 25 meter, dahulunya selain kediaman Kapitan juga digunakan sebagai tempat pertemuan dan pesta, menurut guide selain rumah Abu yang kami singgahi (disebut rumah abu karena digunakan untuk sembahyang) mengampit disampingnya rumah yang sedang direnovasi dan rumah di seberangnya yang sudah tak tampak aslinya selebihnya di area kampung kapitan ada 15 bangunan (dahulu...).
So Siapakah itu si Tuan Kapitan penguasa kampung ini? Namanya Tjoa Ham Hin yang menjabat 1855, meneruskan Ayahnya Mayor Tjoa Kie Cuan. Jadi itu.. China mengirimkan kepala perwakilan dagang salah satunya di Palembang, jabatan dari kepala ini turun menurun, kenapa akhirnya kampung ini diberi nama kapitan karena beliau yang terakhir mengepalai pada saat masa kolonial Belanda.
sumber ; sekilas baca buku-buka yang menjadi makalah, skripsi dan selembaran yang dipajang di meja dimana diatas meja itu ada peta perkembangan Kampung Kapitan dari tahun ke tahun. 

Hari menjelang siang, disini kami membunuh waktu yang panas dan panjangnya perjalanan dengan selfie konyol dan tawa, sumpah demi apapun ini trip ketiga yang lepas banget gak pake jaim dimanapun dan bagaimanapun hehe..



LOST IN MASJID AGUNG PALEMBANG

Destinasi berikutnya adalah Monpera (Monumen Perjuangan Rakyat) namun saya memilih dengan ke-tujuh putri lainnya hee menghilang ke Masjid Agung Palembang guna menunaikan Dzuhur kami, jangan khawatir, masjid itu berseberangan dengan Monpera. namun berhati-hati yaa jika menyebrang di Kota ini karena gak sepeka di Jakarta wakkak.. Nah sambil menunggu mereka Shalat saya yang telah selesai mengelilingi Masjid (Naluri Kevoh).

Masjid Agung Palembang atau Masjid Sultan Mahmud Baharuddin I (Pendiri) merupakan masjid yang dalam kurun waktu lama di masa silam (mungkin sebelum Istiqlal dibangun kali yaa..) paling besar yaitu 15400 meter, beralamat di 19 Ilir lokasinya juga tidak jauh dari Keraton Tengkuruk yang sekarang Museum Sultan Mahmud Baharuddin, juga di tengah pemukiman Palembang dan Arab. seperti halnya Benteng Kuto Besak, bangunan awal Masjid ini juga atas campuran warga Tionghoa yang bermukim di Palembang, oleh sebab itu ada 3 gaya Arsitektur disini, Palembang dengan Tanduk Kambing yang menjadi ciri khas Palembang masa ke-Sultanan, China dari atap yang menyerupai klenteng (Ingat Masjid Cheng Ho?) dan Arab yaitu mimbar yang menyerupai Madinah.
Namun yang berbeda dari Masjid-Masjid lainnya adalah Atap diatas Atap (Mustaka) konon dari sumber-sumber yang saya baca ketika Sultan Mahmud Baharuddin I membangunnya berbentuk bujur sangkar lalu ketika Sultan Mahmud Baharuddin II melanjutkan dengan penambahan menaranya adalah saat perang dingin dengan Belanda hingga selesai di 1825. Nah, Masjid yang sekarang adalah hasil renovasi dari tahun 2000 - 2003 oleh Megawati Soekarno Putri yang saat itu menjabat sebagai Presiden, mungkin disinilah Gerbang bercorak Eropa ikut mewarnai.

Melalui masjid ini, pahamlah saya kenapa menjadi Masjid terbesar dimasa silam Masjid Agung di Jakarta kecuali Istiqlal yaa lewat .. setidaknya ada 4 ruangan besar saya lalui, satu tempat pria untuk shalat yang aktif, satu ruang kosong tapi pintu terbuka, satu ruang kosong dengan pintu tertutup dan satu ruangan tempat saya shalat dimana terbagi dua perempuan di depan dan ada shaf pria di belakang, yang ini aneh hehe.. kebanyakan mereka berisitirahat disana tapi ada juga yang menggunakannya untuk menunaikan Shalat. sempat saya juga berpikir "jika Hari Raya Idul Fitri, Satu warga Palembang nyanggup ini pada shalat Ied, Subhanallah" lalu satu panggilan masuk di Ponsel, pertanda mereka selesai saya pun bergegas menghampiri mereka.

PALEMBANG BERJUANG...
MONPERA (MONUMEN PERJUANGAN RAKYAT)


Setidaknya ada dua perang besar dalam mempertahankan Palembang dari bangsa Belanda, Yakni ketika masa Sultan Mahmud Baharuddin II (Perang Mutinghe = Menteng) dan Perang 5 hari 5 malam (harga diri mempertahankan kemerdekaan  tanggal 01 - 05 Januari 1947). Ada tiga hal yang membuat Palembang Istimewa dari bagian Sumatera lainnya : Militer, Pasukannya kuat dan 60% pasukan Sumatera itu di Palembang, Politik, jika Palembang pasukannya takluk maka Belanda beranggapan takluklah Sumatera, Ekonomi, Hasil Bumi Palembang yang kaya antara lain rempah, penyulingan Minyak, dan Karet. 

Perang Mutinghe (Menteng)

Dinamakan demikian karena Mutinghe adalah perwakilan Belanda di masa keSultanan, Ambisinya untuk menguasai Palembang harus berakhir kekalahan hingga pergi ke Batavia namun, dari kepulangan inilah memicu serangan balasan kepada Sultan namun pasukan Sultan sangat kuat, tercatat ada tiga kali pergantian pimpinan dari Belanda untuk mentaklukkan kekuatan Sultan Mahmud Baharuddin II sampai akhirnya kekalahannya karena Belanda licik dalam menyerang, di hari minggu dimana Belanda tidak akan menyerang subuh ketika mereka sahur diserang dari sanalah Sultan Mahmud Baharuddin II serta keluarga naik kapal Belanda menuju Batavia lalu diasingkan ke Ternate.


Perang 5 Hari 5 Malam

Jujur, tidak pernah terbayang ketika ke Museum Satria Mandala Desember 2016 melewati Diorama Palembang akan benar-benar ke Monpera, Perang 5 hari 5 malam pada diorama itu secara detail dipaparkan di Monpera, Bangunan dengan pancasila itu terdiri dari 6 lantai dimana masing-masing lantainya berbentuk lingkaran yang luasnya tidak kurang dari 100 meter menaikinya seperti Pagoda tangganya disamping namun tengahnya bolong hingga dapat memandang lantai 1 dari lantai 6. Nah, Masing - masing lantai itulah dipajang profil dari pejuang-pejuang yang duduk menentukan Palembang. dari Insiden Provokasi Belanda dengan Blokade, tiba-tiba menembak sembarang hingga akhirnya  Bambang Utoyo, Dr. A.K. Gani, Drg M. Isa, H. Abdul Rozak, Hasan Kasim, H. Barlian, H. Harun Sohar berupaya mempertahankan dengan menyerang selama 5 hari 5 malam dari seberang ulu, Ilir Timur dan Ilir Barat, namun sayang Udara, Air, dan Darat yang tidak mumpuni akhirnya melakukan gencatan senjata dengan harapan mengulang strategi berikutnya.

Museum Sultan Mahmud Baharuddin II atau dahulunya Keraton Tengkuruk
Alhamdulillah, menjelang Sore berakhirnya City Tour kami, kesimpulannya dari saya, Palembang itu tidak lepas dari tiga peradaban : Kerajaan besar Sriwijaya, Masa Sultan Mahmud Baharuddin, dan masa perjuangan rakyat Palembang terhadap Belanda, Palembang juga menjadi warga yang ramah dan terbuka dengan adanya percampuran budaya karena masuknya Tionghoa (Legenda Pulau Kemaro, Kampung Kapitan dan Armada Laksamana Cheng Ho) juga Kampung Arab (Kuatnya agama Islam dari masa Sultan Mahmud Baharuddin I dengan Masjid Agung Palembang).

Setelah membeli oleh-oleh masing-masing kami pun berpisah ada yang extend, ada yang memang di Palembang, ada yang dari Jambi, ada yang lanjut trip lain, dan sisanya lekas menuju Bandara Sultan Mahmud Baharuddin, dan kembali ke Ibukota Jakarta tempat yang mempertemukan kami. Go Flight. 














Tidak ada komentar:

Posting Komentar